Ada banyak cara untuk mengisi waktu di akhir pekan. Bersih-bersih tempat tinggal, jalan-jalan keluar kota, atau membaca buku. Tak mesti buku yang baru terbit, bisa pula buku lama yang mungkin belum sempat dibaca atau ingin dibaca ulang. Bagi saya, yang lebih berarti, buku yang dibaca mesti memancarkan inspirasi. Nah, menurut saya, buku terbitan Mizan berjudul Misteri Apel Newton ini memenuhi kualifikasi itu.
Kendati terbit pada 2006, di sini, karya James Gleick ini tetap menarik untuk dibaca kapan saja, sebab buku ini berkisah perihal seorang manusia yang kompleks dan gelisah dalam ikhtiarnya menemukan rahasia alam. Ayah Newton, seorang petani kecil, meninggal muda sebelum Newton lahir (1642). Orang Inggris zaman itu mempercayai bahwa anak seperti itu tidak akan menyerupai ayahnya.
Newton kemudian memang menjadi orang yang mampu mengukirkan namanya dalam jagat fisika hingga beratus tahun kemudian, dan entah sampai kapan namanya akan selalu disebut. Entah karena kemiskinannya, lama tinggal di kawasan pertanian yang jauh dari kota terdekat, tempat Universitas Cambridge berada, Newton dewasa terbiasa menjalani hidup tanpa orangtua, keluarga, dan teman.
Sejak kecil Isaac Newton telah menunjukkan minatnya pada pengungkapan rahasia alam. Ia banyak bertanya, walau disimpannya dalam buku catatan sendiri. Ketika dewasa ia menulis dan bekerja dalam kesendirian. Bila tidak didesak oleh teman-temannya yang tak banyak jumlahnya itu, Newton tak akan menyebarluaskan pikiran dan temuan revolusionernya. Kita pun mungkin tak mengenal Hukum Newton I dan II.
Karya Gleick yang disusun dari risetnya atas surat-surat pribadi , buku-buku catatan Newton, juga dokumen yang dianggap hilang selama berabad-abad ini berusaha menyelami pikiran dan perasaan ilmuwan ini. Pikiran Newton kerap bergerak jauh, hingga suatu ketika banyak orang mengkhawatirkan bahwa Newton berada di ambang kegilaan lantaran pikirannya tersita oleh persoalan-persoalan yang belum terpecahkan. Dalam salah satu suratnya, Newton menulis: “…saya betul-betul terganggung oleh keadaan saya saat ini, kurang makan dan kurang tidur selama dua belas bulan terakhir, dan kehilangan konsistensi pikiran yang dulu saya miliki..”
Kelak, Newton tercatat sebagai salah satu raksasa ilmu pengetahuan. Toh ia tetap rendah hati. “Aku tidak tahu bagaimana dunia memandang diriku,” kata Newton sebelum meninggal, “tetapi aku sendiri memandang diriku seperti bocah yang bermain pasir di pantai, asyik mencari batuan halus serta kerang-kerang cantik, sementara lautan kebenaran mahaluas tetap tak terjamah olehku.”
Sebagai seorang yang rasional, Newton juga dikenal mistis. Ia percaya pada Tuhan dalam konstruksi yang ia yakini, yang berbeda dari keyakinan orang-orang sezamannya. Barangkali inikah sebabnya ia disebut-sebut tergabung dalam sebuah sekte rahasia, seperti ditulis dalam Da Vinci Code?
Membaca kisah pergulatan Isaac Newton dalam mencari hukum alam ini sama mengasyikannya dengan membaca Sains Leonardo karya Fritjof Capra yang berkisah begitu intim tentang kehidupan jenius lainnya, Leonardo da Vinci—seorang seniman sekaligus ilmuwan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar