Stroke, siapa yang tak mengenal penyakit
yang satu ini. Pikiran kita langsung tertuju pada penyakit yang
menyebabkan kelumpuhan separuh badan. Stroke adalah gangguan
neuroogis/saraf akibat penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak
yang berdaampak pada terganggunya berbagai fungsi tubuh. Berat ringan
dan kelainan fungsi tubuh tergantung pada letak dan luas jaringan otak
yang terkena stroke.
Ada dua kelompok faktor risiko terjadinya
stroke, yaitu faktor yang tidak dapat diubah seperti umur, jenis
kelamin, ras, riwayat keluarga daan faktor yang dapat diubah antara lain
hipertensi, dislipidemia, penyakit jantung, diabetes mellitus, merokok,
dan lain-lain. Kemungkinan terjadinya stroke dapat dihindari atau
diminimalkan dengan menangani faktor risiko yang dapat diubah. Stroke
merupakan penyebab kematian terbanyak ketiga di dunia setelah penyakit
jantung dan kanker, serta menimbulkan kecacatan tertinggi pada kelompok
usia dewasa. Kecacatan yang ditimbulkan akibat stroke dapat memberikan
stres sangat berat bagi pasien maupun keluarga dekatnya.
DAMPAK GANGGUAN FUNGSI PASCA STROKE
Dibutuhkan
evaluasi menyeluruh terhadap pasien stroke meliputi kondisi kesadaran,
hemodi-namik, jantung paru, fungsi kognitif, komunikasi dan menelan,
sensori serta kemampuan gerak untuk membuat program rehabilitisi.
Sebagai pertimbangan dalam menentukan program, goal (tujuan)
rehabilitasi dan prognosis, riwayat penyakit penyerta, kondisi
psikososial, CT scan kepala dan pemeriksaan penunjang lainnya turut
diperlukan. Lebih dari 88% pasien stroke menderita kelumpuhan separuh
badan dengan derajat keparahan berbeda-beda. Gerak fungsional merupakan
komplek gerakan terkoordinasi antara fungsi kognitif, mata, anggota
gerak, tubuh dan sensori.
Gangguan fungsi gerak akan membatasi
kemampuan untuk berpindah tenpat dan berjalan, serta aktivitas
sehari-hari seperti makan mminum , berhias, berpakaian, mandi dan ke
toilet.
Kekakuan sendi dan pemendekan otot akibat
keterbatasan gerak akan menimbulkan nyeri. Latihan kontrol postural,
pencegahan kekakuan sendi, latihan mobilisasi bertahap, berjalan dengan
pola gerak yang baik akan meminimalkan kecacatan yang biasa tampak pada
pasien stroke. jika diperlukan pemberian obat anti spastisitas atau
suntikan botox agar pasien dapat beraktivitas lebih baik. Prediksi dan
prognosis gangguan berbahasa atau afasia dapat dilihat dari letak stroke
pada CT scan.
Gangguan berbahasa biasanya menyertai
pasien dengan stroke pada belahan otak yang dominan (95% manusia
memiliki otak dominan pada belahan kiri). Ada pasien yang tidak lancar
berkata-kata, ada yang lancar tetapi tak dapat dimengerti, ada pula yang
tidak mampu berbicara dan tidak mengerti pembicaraan.
Adakalanya sulit untuk menjalin kontak
komunikasi dengan pasien sehingga perlu membangkitkan memori dari
melihat foto dan kenangan lainnya. Untuk itu penanganan gangguan
berbahasa ditujukan agar tercapai kontak verbal maupun non verbal
sehingga tercapai komunikasi antara dokter, perawat, terapis, keluarga,
dengan pasien.
Gangguan menelan, bicara pelo dan sudut
bibir tak simetris, lidah terasa kaku disebabkan kelemahan saraf-saraf
otak. Pemulihan fungsi menelan biasanya terjadi tiga minggu pertama
setelah stroke. Sekitar 17% pasien tidak mampu menelan cairan dan 8%
tidak mampu menelan makanan. Pasien yang dibolehkan pulang rawat tetapi
belum mampu menelan biasanya pulang dengan selang saluran makanan lewat
hidungnya.
Sebagian
pasien mengalami penurunan dalam fungsi kognitif, sulit berpikir,
kurang konsentrasi, mudah lupa, sulit mengutarakan apa yang dipikirkan,
kurang inisiatif, serta gangguan mengontrol emosi. Akibat gangguan
kognitif pasien sering mengalami depresi, kesulitan dalam koordinasi
menelan sehingga mudah tersedak, tidak mampu mengontrol buang air kecill
dan besar, tidak mampu merawat diri sehingga selalu membutuhkan
pendamping.
Gangguan visuospatial adalah gangguan
persepsi terhadap kelainan ruang sehingga pasien kesulitan mengatur
letak dan posisi benda, tidak dapat memperkirakan letak benda dan
kedalaman ruang.
Hemispatial neglect merupakan kondisi di mana pasien tidak memperhatikan anggota gerak dan ruang pada sisi sebelah kiri pasien.
Gangguan visuospatial sangat mengganggu
pasien dalam beraktivitas dan mobilisasi karena pasien tidak dapat
memperkirakan letak benda yang diraih dan melangkah yang tepat sehingga
berisiko jatuh saat berjalan. Begitu banyak dampak yang ditimbulkan
akibat stroke. Tanpa penanganan rehabilitasi medik sejak fase akut (awal
serangan) dampak tersebut akan menimbulkan kecacatan yang lebih berat.
REHABILITASI DINI PADA STROKE
Pasien stroke fase akut umumnya
diharuskan tirah baring hingga kondisinya cukup stabil sementara dokter
spesialis saraf mengoptimalkan reperfusi otak, mencegah dampak sekunder
kerusakan otak, dokter spesialis bedah saraf melakukan pananganan
operatif pada kondisi stroke tertentu dan dokter lain terkait mengatasi
penyakit penyulit.
Rehabilitasi medik mengupayakan
pencegahan komplikasi gangguan fungsi organ yang timbul akibat stroke
dan atau komplikasi deconditioning akibat tirah baring termasuk mencegah
bertambah luasnya kerusakan jaringan otak. Berbagai kondisi pada pasien
stroke fase akut yang perlu mendapatkan penanganan rehabilitasi medik
yang intensif adalah :
1. Adanya penurunan kesadaran,
kelemahan otot dan ketidakmampuan untuk bergerak pada pasien yang
berbaring terlentang membuat gerakan diafragma dan otot-otot rongga dada
berkurang saat menarik napas. Tidak jarang kondisi ini diperberat oleh
adanya penumpukan lendir dalam saluran napas dan masuknya makanan ke
dalam paru akibat gangguan menelan.
Infeksi saluran napas dan paru
sering terjadi sehingga sirkulasi udara dalam saluran napas serta
pertukaran gas karbondioksida dengan oksigen di alveol (gelembung) paru
menjadi terganggu. Penurunan fungsi sistim pernapasan ini menyebabkan
suplai oksigen ke otak berkurang.
Otak merupakan organ tubuh yang
membutuhkan oksigen terbanyak sehingga bila suplai oksigen berkurang
maka semakin banyak jaringan otak yang mengalami kerusakan. Bila
jaringan otak yang rusak semakin luas maka kecacatan akibat stroke akan
bertambah.
Perubahan posisi tubuh setiap 2 jam,
drainase lendir pada saluran napas dan pengembangan rongga dada harus
diberikan pada penderita stroke yang selalu berbaring agar sistem
pernapasan berfungsi baik.
Dibutuhkan
beberapa bantal untuk menopang badan pasien. Tubuh dimiringkan ke kanan
dan ke kiri setiap 2 jam untuk mencegah timbulnya luka tekan dan
penumpukan lendir dalam paru. Kadang dibutuhkan posisi tertentu untuk
memudahkan aliran lendirr tergantung pada letak lendir di dalam paru.
Pada pasien yang mendapat inhalasi,
pemberian melalui jetnebulizer adalah yang paling baik untuk memecah
cairan obat menjadi partikel kecil aerosol yang mudah diserap di dalam
paru.
Bila sistim pernapasan berfungsi baik
maka suplai oksigen keotak tercukupi sehingga mencegah meluasnya
kerusakan jaringan otak. Penanganan terapi fisik paru untuk drainase
lendir mutlak diberikan kepada semua pasien..
2. Komplikasi pada sistem otot dan tulang,
umumnya berupa kekakuan pada otot dan sendi. Apabila disertai dengan
posisi berbaring yang tidak benar, kondisi ini dapat memperkuat pola
sinergistik (pola kekakuan gyang biasa terjadi pada stroke) sehingga
terjadi pemendekan otot-otot yang diperlukan untuk aktivitas.
Anggota
gerak yang lemah perlu diatur dalam posisi tertentu agar otot tidak
cepat memendek. Kekakuan sendi dan pemendekan otot akan menimbulkan rasa
nyeri. Bila pasien cenderung berbaring ke satu sisi maka terjadi
pemendekan otot pada leher, bahu dan pinggul seh ingga nyeri saat
digerakkan. Saat berbaring terlentang kaki pasien perlu diganjal bantal
untuk mencegah pemendekan otot betis dan memberikan rangsang sensori
pada telapak kaki yang diteruskan ke otak.
Oleh karena itu perubahan posisi setiap 2
jam, pengaturan posisi dari kepala hingga kaki sangat penting. Lingkup
gerak sendi juga perlu dijaga agar tetap normal. Tidak ditanganinya
masalah ini mengakibatkan pemulihan gerak fungsional yang diharapkan
menjadi terbatas dan tidak optimal.
3. Komplikasi deconditioning akibat tirah, baring
berupa gangguan sistem jantung paru, tulang dan otot, kulit, saluran
cerna, saluran kemih dan gangguan metabolik serta psikis
(depresi) Pasien dengan tirah baring lama sering tampak lemah, ketahanan
(endurance) jantung paru menurun, otot mengecil karena jarang
digunakan, terjadi gangguan metabolik, mineral dan protein. Setiap
minggu terjadi pengurangan protein tubuh 2,5% akibat tirah bating.
Adanya luka tekan pada kulit menambah besar hilangnya protein tubuh.
Oleh karena itu pasien memerlukan jumlah
asupan makanan yang tepat agar terpenuhi kebutuhan gizi. Tirah baring
juga memperlambat gerak makanan sisa cerna di dalam usus sehingga
terjadi kesulitan buang air besar. Penggunaan kateter untuk buang air
kecil diperlukan pada kondisi kesadaran pasien yang menurun namun
berisiko menimbulkan infeksi saluraan kemih pada pemakaian jangka
panjang
Dampak tirah baring lama, infeksi, luka
tekan, serta status gizi yang buruk dapat menghambat proses latihan.
Depresi akibat lamanya perawatan dan ketidak mampuan bergerak juga turut
memperlambat proses pemulihan pasien. Untuk mencegah deconditioning
pasien dilatih mobilisasi ke arah tegak secara bertahap. Khusus pada
pasien stroke perdarahan dan kerusakan luas pada otak, latihan tidak
boleh agresif dan disesuaikan dengan kondisi hemodinamik pasien saat
itu.
Pada kondisi tertentu di mana pasien
lebih stabil dimulailah gerakan-gerakan untuk mencegah pemendekan otot
dan kekakuan sendi serta latihan kontrol terhadap postur tubuh. Jika
pasien mulai latihan gerak aktif, metabolisme tubuh akan meningkat, maka
kebutuhan kalori harus lebih diperhatikan.
Kondisi penyakit penyerta dan kondisi
penyulit (misalnya penyakit jantung, diabetes mellitus, penyakit gagal
ginjal kronik, pasien dengan patah tulang, kadar albumin rendah, anemia
dan sebagainya) turut dipertimbangkan dalam menentukan macam dan
intensitas.
UPAYA PELAYANAN KOMPREHENSIF
Program rehabilitasi medik tidak sekedar
melatih untuk gerak. Secara umum tujuan (goal) rehabilitasi pasien
stroke jangka panjang adalah mengoptimalkan fungsi yang ada pada pasien
untuk beraktivitas, melakukan kegiatan vokasional dan avokasional
sehingga memiliki kualitas hidup yang baik.
Tim rehabilitasi medik terdiri dari
dokter spesialis kedokteran fisik & rehabilitasi, perawat,
fisioterapis, terapis wicara dan okupasi terapis. Pada kondisi tertentu
diperlukan psikolog dan teknisi ortosis untuk ikut serta dalam tim.
Keberhasilan program sangat didukung oleh peran keluarga. Keluarga
memegang peranan penting dalam memberikan support, stimulasi dan
mempersiapkan modifikasi lingkungan yang sesuai bagi pasien saat pulang
ke rumah. Edukasi kepada keluarga dan pasien sangat penting untuk
melakukan pencegahan terhadap serangan stroke berulang serta kelanjutan
program rehabilitasi.
Terhadap organ otak berlaku istilah “use
it or loose it”, bila pasien tidak berlatih maka ia akan kehilangan
kemampuan fungsional berkaitan dengan fungsi bagian-bagian otak. Masalah
pasien stroke sangatlah komplek. Pemulihan tidak dapat berjalan baik
tanpa pemahaman dan penanganan yang tepat sejak fase akut, untuk itu
dibutuhkan tim yang memperdalam ilmu di bidang stroke. Peran dan
kerjasama dari berbagai disiplin ilmu, dokter, perawat, terapis menjadi
sangat penting untuk mencapai pemulihan fungsional yang optimal.
Sumber: Dr. Esti Widorini, SpKFR – SMF Rehabilitasi Medik RSUP Fatmawati
sumber: http://sehatkufreemagazine.wordpress.com/2012/08/11/peran-rehabilitasi-medik-dalam-pemulihan-pasca-strok/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar