by Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Minimnya perhatian dan kelembutan seorang ibu yang tersita waktunya untuk aktivitas di luar rumah, jika mau disadari,
sejatinya berpengaruh besar pada perkembangan jiwa anak. Terlebih jika
keperluan anak dan suaminya malah diserahkan kepada sang pembantu /
babysitter. Lantas di manakah tanggung jawab untuk menjadikan rumah sebagai madrasah bagi anak-anak mereka?
Minimnya perhatian dan kelembutan seorang ibu yang tersita waktunya
untuk aktivitas di luar rumah, jika mau disadari, sejatinya berpengaruh
besar pada perkembangan jiwa anak. Terlebih jika keperluan anak dan
suaminya malah diserahkan kepada sang pembantu/babysitter. Lantas di
manakah tanggung jawab untuk menjadikan rumah sebagai madrasah bagi
anak-anak mereka? Banyak orang bodoh meneriakkan agar wanita jangan
dikungkung dalam rumahnya, karena membiarkan wanita diam menganggur
dalam rumah berarti membuang separuh dari potensi sumber daya manusia.
Biarkan wanita berperan dalam masyarakatnya, keluar rumah bahu membahu
bersama lelaki membangun negerinya dalam berbagai bidang kehidupan!!!
Demikian igauan mereka. Padahal dari sisi mana mereka yang bodoh ini
dapat menyimpulkan bahwa separuh potensi sumber daya manusia terbuang?
Dari mana mereka dapat istilah bahwa wanita yang diam di rumah karena
mengurusi rumahnya adalah pengangguran? Ya, karena memang dalam defenisi
kebodohan mereka, wanita pekerja adalah yang bergiat di luar rumah.
Adapun yang cuma berkutat dengan pekerjaan domestik, mengurus suami dan
anak-anaknya bukanlah pekerja tapi penganggur. Tidak memberikan
pendapatan bagi negara.
Tahukah mereka bahwa Islam justru memberi
pekerjaan yang mulia kepada wanita, kepada para istri di rumah-rumah
mereka? Mereka diberi tanggung jawab. Dan dengan tanggung jawab
tersebut, bisakah diterima bila mereka dikatakan menganggur, tidak
memberikan sumbangsih apa-apa kepada masyarakat dan negerinya? Dalam
bentuk pendapatan berupa materi mungkin tidak. Tapi dalam mempersiapkan
generasi yang sehat agamanya dan fisiknya? Tentu tak dapat dipungkiri
peran mereka oleh orang yang berakal sehat dan lurus serta mau
menggunakan akalnya. Suatu peran yang tidak dapat dinilai dengan materi.
Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،
فَالْإِمَامُ الْأَعْظَمُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ
عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ
مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ
زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ، وَعَبْدُ الرَّجُلِ
رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah
ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya. Imam a’zham
(pemimpin negara) yang berkuasa atas manusia adalah ra’in dan ia akan
ditanya tentang ra’iyahnya. Seorang lelaki/suami adalah ra’in bagi ahli
bait (keluarga)nya dan ia akan ditanya tentang ra’iyahnya. Wanita/istri
adalah ra’iyah terhadap ahli bait suaminya dan anak suaminya dan ia akan
ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah ra’in terhadap harta
tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap
kalian adalah ra’in dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya. ”
(HR. Al-Bukhari no. 5200, 7138 dan Muslim no. 4701 dari Abdullah bin
‘Umar radhiyallahu 'anhuma)
Makna ra’in adalah seorang penjaga, yang
diberi amanah, yang harus memegangi perkara yang dapat membaikkan
amanah yang ada dalam penjagaannya. Ia dituntut untuk berlaku adil dan
menunaikan perkara yang dapat memberi maslahat bagi apa yang diamanahkan
kepadanya. (Al-Minhaj 12/417, Fathul Bari, 13/140)
Berdasarkan
makna ra’in di atas, berarti setiap orang memegang amanah, bertindak
sebagai penjaga, dan kelak ia akan ditanya tentang apa yang diamanahkan
kepadanya. Seorang pemimpin manusia, sebagai kepala negara ataupun
wilayah yang lebih kecil darinya, merupakan pemegang amanah dan
bertanggung jawab terhadap kemaslahatan rakyatnya dan kelak ia akan
ditanya tentang kepemimpinannya. Begitu pula seorang suami sebagai
kepala rumah tangga, ia memegang amanah, sebagai penjaga serta pengatur
bagi keluarganya dan kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa
yang dipimpinnya. Berikutnya seorang istri, selaku pendamping suami, ia
memegang amanah sebagai pengatur urusan dalam rumah suaminya berikut
anak-anak suaminya dan ia pun kelak akan ditanya tentang pengaturannya
dan tentang anak-anaknya.
Al-Khaththabi rahimahullahu berkata,
“Mereka yang disebutkan dalam hadits di atas, seorang imam/pemimpin
negara, seorang lelaki/suami dan yang lainnya, semuanya berserikat dalam
penamaan atau pensifatan sebagai ra’in. Namun makna atau tugas/peran
mereka berbeda-beda. Amanah dan tanggung jawab imam a’zham (pemimpin
negara) adalah untuk menjaga syariat dengan menegakkan hukum had dan
berlaku adil dalam hukum. Sementara kepemimpinan seorang suami terhadap
keluarganya adalah pengaturannya terhadap perkara mereka dan menunaikan
hak-hak mereka. Adapun seorang istri, amanah yang ditanggungnya adalah
mengatur urusan rumahnya, anak-anaknya, pembantunya dan mengatur semua
itu dengan baik untuk suaminya. Seorang pelayan ataupun budak, ia
bertanggung jawab menjaga apa yang ada di bawah tangannya dan menunaikan
pelayanan yang wajib baginya. ” (Fathul Bari, 13/141)
Al-Qadhi
Iyadh rahimahullahu mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa setiap
orang yang mengurusi sesuatu dari perkara orang lain, ia dituntut untuk
berlaku adil di dalamnya, menunaikan haknya yang wajib, menegakkan
perkara yang dapat memberi maslahat kepada apa yang diurusinya. Seperti,
seorang suami dalam keluarganya, istri dalam pengurusannya terhadap
rumah dan harta suaminya serta anak-anaknya, budak dalam pengurusan dan
pengaturannya terhadap harta tuannya. ” (Al-Ikmal, 6/230)
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjelaskan, “Setiap
ra’in bermacam-macam yang diaturnya dan amanah yang ditanggungnya. Ada
yang tanggung jawabnya besar lagi luas dan ada yang tanggung jawabnya
kecil. Karena itulah Nabi bersabda: الأَمِيرُ رَاعٍ, ia akan ditanya
tentang ra’iyahnya (rakyatnya/ apa yang diatur dan dipimpinnya), seorang
suami juga ra’in tapi ra’iyahnya terbatas hanya pada ahli baitnya,
yaitu istrinya, anak laki-lakinya, anak perempuannya, saudara
perempuannya, bibinya dan semua orang yang ada di rumahnya. Ia ra’in
bagi ahli baitnya dan akan ditanya tentang ra’iyahnya, maka wajib
baginya untuk mengatur dan mengurusi mereka dengan sebaik-baik
pengaturan/pengurusan, karena ia akan ditanya dan diminta
pertanggungjawaban tentang mereka.
Demikian pula seorang istri
merupakan ra’iyah di rumah suaminya dan akan ditanya tentang urusannya.
Maka wajib baginya untuk mengurusi rumah dengan baik, dalam memasak,
dalam menyiapkan kopi, teh, dalam menyiapkan tempat tidur. Janganlah ia
memasak lebih dari yang semestinya. Jangan ia membuat teh lebih dari
yang dibutuhkan. Ia harus menjadi seorang wanita yang bersikap
pertengahan, tidak mengurangi-ngurangi dan tidak berlebih-lebihan,
karena sikap pertengahan adalah separuh dari penghidupan. Tidak
melampaui batas dalam apa yang tidak sepantasnya. Si istri bertanggung
jawab pula terhadap anak-anaknya dalam perbaikan mereka dan perbaikan
keadaan serta urusan mereka, seperti dalam hal memakaikan pakaian kepada
mereka, melepaskan pakaian yang tidak bersih dari tubuh mereka,
merapikan tempat tidur mereka, memerhatikan penutup tubuh mereka di
musim dingin. Demikian, ia akan ditanya tentang semua itu. Sebagaimana
ia akan ditanya tentang memasaknya untuk keluarganya, baiknya dalam
penyiapan dan pengolahannya. Demikianlah ia akan ditanya tentang seluruh
apa yang ada di dalam rumahnya. ” (Syarhu Riyadhis Shalihin, 2/106,107)
Jelas, wanita sudah memiliki amanah dan tugas tersendiri yang harus
dipikulnya dengan sebaik-baiknya. Dan yang menetapkan amanah dan tugas
tersebut bukan sembarang orang tapi manusia yang paling mulia, paling
berilmu dan paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pengemban syariat yang
diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari atas langit yang ketujuh.
Dan beliau tidaklah menetapkan syariat dari hawa nafsunya, melainkan
semuanya merupakan wahyu yang diwahyukan kepada beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Dan para ibu rumah tangga jangan termakan dan
tertipu dengan teriakan orang-orang bodoh di luar sana sehingga timbul
rasa minder berhadapan dengan wanita-wanita karir dan merasa diri cuma
menganggur di rumah. Padahal di rumah ada suami yang harus ditaati dan
dikhidmatinya. Ada anak-anak yang harus ditarbiyah dengan baik. Ada
harta suami yang harus diatur dan dijaga sebaik-baiknya. Dan ada
pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang butuh penanganan dan pengaturan.
Semua ini pekerjaan yang mulia dan berpahala bila diniatkan karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Dan para ibu rumah tangga harus ingat bahwa mereka
kelak pada hari kiamat akan ditanya tentang amanah yang dibebankan
kepadanya, berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
di atas dan juga ada hadits lain yang berbunyi:
مَا مِنْ رَاعٍ إِلاَّ يُسْأَلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَقَامَ أَمْرَ اللهِ أَمْ أَضَاعَهُ
“Tidak ada seorang ra’in pun kecuali ia akan ditanya pada hari kiamat,
apakah ia menunaikan perintah Allah atau malah menyia-nyiakannya. ” (HR.
Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu,
sebagaimana dibawakan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu
dalam Fathul Bari ketika memberi penjelasan terhadap hadits Abdullah bin
Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas )
Dan juga hadits:
إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ حَفِظَ أَوْ ضَيَّعَهُ
“Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap ra’in tentang apa yang
dibawah pengaturannya, apakah ia menjaganya atau malah
menyia-nyiakannya. ” (HR. Ibnu ‘Adi dengan sanad yang dishahihkan oleh
Al-Hafizh rahimahullahu dalam Fathul Bari, dari Anas bin Malik
radhiyallahu 'anhu)
Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa
seorang yang mukallaf, termasuk dalam hal ini seorang istri sebagai ibu
rumah tangga, akan menanggung dosa karena sikap penyia-nyiaannya
terhadap perkara yang berada di bawah tanggungannya. (Fathul Bari,
13/141)
Karenanya tunaikan amanah dan tugasmu dengan sebaik-baiknya.
Dan sadarilah bahwa peran wanita dalam masyarakat Islam amatlah besar
dan penting. Di mana ia harus menunaikan hak suaminya dan kewajibannya
terhadap anak-anaknya dengan memberikan pendidikan dan menyiapkan
kebutuhan mereka agar kelak anak-anak tersebut dapat membawa agamanya
dengan kekuatan dan kemuliaan. (Bahjatun Nazhirin, 1/369)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar